Skip to main content

Minat Baca Buku Rendah tapi Paling Jago Koar-Koar di Medsos

        

        Seperti dikutip sebelumnya bahwa angka minat baca Indonesia sangatlah rendah bahkan dapat dikatakan miris. Bagaimana tidak bahwa pada tahun 2015 hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015 mencatat bahwa tingkat literasi Indonesia menduduki urutan ke 62 dari dari 70 negara yang disurvei. Penelitian berbeda pada tahun 2016, Indonesia tercatat oleh World’s Most Literrate Nations Ranked menduduki urutan ke-60 dari 61 negara. Lebih lengkapnya budimen bisa membaca artikel sebelumnya di bawah ini.

Dampak Buruk Malas Membaca

        Sedangkan pada media online, seperti yang dikatakan oleh Imam Anshori, Pemimpin Redaksi Senayan Post dalam diskusi Kebangsaan di Yogyakarta bertema Tantangan Media Massa di era Industri 4.0, jumlah pembaca media online dalam kurun waktu antara 2011-2016 naik hingga 500%. Di saat yang sama, pembaca media cetak turun 30% artinya ini menggambarkan bahwa masyarakat telah beralih menggunakan media online untuk mendapatkan informasi dan mulai meninggalkan media cetak. 

        Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data riset situs HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020” yang dirilis pada awal tahun 2020 menunjukan bahwa Indonesia masuk ke dalam urutan ke-8 dari 10 besar negara yang paling lama mengakses internet. Dalam hasil risetnya selama tahun 2019, pengguna internet Indonesia yang berusia 16-64 tahun memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per-hari menatap layar online.

        Di zaman era digital ini mendapatkan infromasi sangatlah mudah. Sayangnya informasi yang didapatkan bukan berasal dari media yang dapat dipercaya melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Tak heran jika warga pribumi lebih mudah terprovokasi dengan media-media penyebar HOAX ditambah banyaknya warga menjadi netizen yang gemar menuangkan pendapatnya di dalam berbagai media sosial. Masalah ini Indonesia paling jago dah! 

        Bayangkan saja kalau kita melihat laporan yang berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris menyebutkan bahwa warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unke-unek di Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap harinya. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di twitter ialah Tokyo. Menyusul di bawahnya yakni London, New York, dan Sao Paulo yang juga gemar membagi cerita. Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di twitter pada posisi ke-6. Dari sini kita bisa melihat bahwa Indonesia memiliki rekor dua kota yang masuk dalam riset tersebut.

        Sangat disayangkan bahwa rekor tersebut bukanlah nilai plus bagi warga negara Indonesia sehingga bukan menjadi sebuah pertanyaan aneh lagi mengapa banyak sekali terjadinya perpecahan di negara kita pada masa-masa ini. Dalam surveynya, Microsoft mendapatkan partisipan sejumlah 501 orang remaja dan dewasa Indonesia, darii usia 13-74 tahun. Berikut hasil survey yang didapatkan sebagaimana dilansir dari website Microsoft menyebut topik yang menyebabkan banyak incivility atau ketidaksopanan secara online, paling tinggi partisipan menjawab agama 42%, orientasi seksual 37%, penampilan fisik 37% politik 36%, serta ras 35%.

        Sementara risiko online paling menyakitkan, disebut paling tinggi adalah rusaknya reputasi personal 85%, pelecehan online 82%, rusaknya reputasi 81%, perundungan online 75% serta diskriminasi 73%. Disamping semua itu, kelompok umur paling sering menerima risiko online adalah milenial dengan 72% partisipan telah mengalaminya.

        Tak dapat dibayangkan betapa perihatinnya negara kita dengan angka minat baca buku yang rendah, ilmu minimalis, mampu bertahan menatap layar gadget berjam-jam, dan paling jagonya koar-koar di media sosial. Gak heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Sehingga terlihat sekali bahwa kecepatan jari untuk langsung memberikan like dan share melebihi kecepatan pola pikirnya. Padahal belum tentu kepastian informasi yang beredar tersebut benar dan layak untuk dibagikan.

        Oleh karena itu, yuk kenali dan sadari kembali dari diri masing-masing seberapa jauhnya kita dari buku dan seberapa dekatnya kita dengan media? Sudah bijak kah kita memanfaatkannya?


Comments

Popular posts from this blog

Jenis-jenis Phobia Aneh tapi Sering Kita Jumpai

                    Dalam kehidupan yang selalu berputar ada kalanya manusia memiliki rasa cemas, khawatir, bahkan ketakutan terhadap sesuatu baik itu berupa berupa benda, suasana, atau kondisi tertentu. Anehnya, ada saja manusia yang hidup di dunia ini memiliki rasa ketakutan tersendiri which is tidak dimiliki oleh orang-orang pada umumnya sehingga dapat dibilang tak wajar. BTW pernahkah budimen mendapati keluarga, teman-teman, atau mungkin diri sendiri yang memilki rasa ketakutan tersebut? Dan t ahukan budimen, apa nama ketakutan tersebut? Yapz, ketakutan tersebut dinamakan ketakutan phobia.            Dilansir dari wikipedia, ketakutan phobia adalah kondisi keterbatasan karena dorongan kecemasan dan ketakutan akan sesuatu. Contoh sederhana sebuah phobia yang sering kita jumpai di dunia ini adalah phobia dengan ketinggian (Achropobia), hewan tertentu (Zoophobia), sekumpulan lubang-lubang (Tryphobia), dsb. Secara umum phobia bisa terjadi karena kombinasi faktor eksternal (peristiwa tr

Dari Banyaknya Penemu Lampu Lalu Lintas. Siapakah Penemu Sebenarnya?

        M enurut UU no. 22/2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan,  l ampu lalu lintas adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas yang terpasang di persimpangan jalan, tempat penyeberangan pejalan kaki (zebra cross), dan tempat arus lalu lintas lainnya. Lampu inilah yang berfungsi untuk pengendara sebagai tanda pemberi waktu kapan ia dapat berjalan dan berhenti bergantian dari berbagai arah.         Awal mula sebuah ide lampu lalu lintas muncul dari salah seorang manager kereta api Inggris bernama John Peake Knight. Ide ini diadopsi dari sebuah metode semapur yang biasa digunakan kereta api untuk mengontrol lalu lintas di jalan raya. Pada siang hari metode ini hanya menampilkan tanda STOP dan GO serta pada malamnya menggunakan lampu berwarna merah dan hijau yang dibantu oleh tenaga  gas hal ini disebabkan karena belum ditemukannya tenaga listrik pada masanya.           Akhirnya sinyal lalu lintas pertama di dunia tersebut berhasil dipasang pada 9 Desember 1868, di persimpang